Tari Seudati pada mulanya berkembang di Desa Gigieng, Kecamatan Simpang Tiga, Kabupaten Pidie yang dipimpin oleh Syeh Tam. Kemudian, tarian ini berkembang ke Desa Didoh, Kecamatan Mutiara, Kabupaten Pidie yang dipimpin oleh Syeh Ali Didoh. Jadi, dapat dikatakan bahwa tarian ini berasal dari Kabupaten Pidie. Tarian ini juga populer di daerah Aceh Timur dan Aceh Utara.
Tari ini dikembangkan sejak ratusan tahun yang lalu. Pada awalnya, tarian ini dikenal sebagai tarian pesisir yang disebut ratoh atau ratoih yang artinya "mengabarkan" atau "memperagakan". Tarian ini biasa diperagakan untuk mengawali permainan sabung ayam atau saat musim panen tiba pada malam bulan purnama. Tarian ini juga digunakan untuk mengabarkan sebuah permasalahan di masyarakat dan cara menyelesaikannya. Dalam ratoh dapat diceritakan berbagai hal, dapat berupa kisah sedih, kisah gembira, dan kisah yang membangkitkan semangat.
Tari Seudati lalu digunakan untuk menyiarkan agama Islam. Para penyiar agama ini menggunakan tarian agar lebih mudah diterima oleh masyarakat pada masa itu. Ulama yang mengembangkan agama Islam di Aceh banyak yang berasal dari negeri Arab. Oleh karena itu, istilah-istilah yang digunakan dalam tarian ini banyak yang menggunakan bahasa Arab, misalnya Syeh yang berati "pemimpin", sama yang berati "delapan", dan syair yang berarti "nyanyian".
Tari ini termasuk dalam tribal war dance atau tarian perang. Pada masa penjajahan, syair-syair yang dilantunkan saat menarikan tarian ini dapat membangkitkan semangat pemuda Aceh untuk melawan para penjajah. Tarian ini sempat dilarang untuk dimainkan pada masa penjajahan Belanda karena dampak yang dapat ditimbulkannya. Setelah Indonesia merdeka, tarian ini dapat dimainkan kembali dan saat ini termasuk sebagai salah satu tarian nasional.
No comments:
Post a Comment