Sultan Agung Adi
Prabu Hanyakrakusuma (Bahasa Jawa:
Sultan Agung Adi Prabu Hanyokrokusumo, lahir: Kutagede,
Kesultanan Mataram, 1593 - wafat: Karta (Plered, Bantul), Kesultanan Mataram, 1645) adalah Sultan ke-tiga Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1613-1645. Di bawah kepemimpinannya, Mataram
berkembang menjadi kerajaan terbesar di Jawa dan Nusantara
pada saat itu. Atas jasa-jasanya sebagai pejuang dan budayawan, Sultan Agung
telah ditetapkan menjadi pahlawan nasional Indonesia
berdasarkan S.K. Presiden
No. 106/TK/1975 tanggal 3 November
1975.
Nama aslinya adalah Raden Mas Jatmika, atau terkenal pula dengan sebutan
Raden Mas Rangsang. Merupakan putra dari pasangan Prabu Hanyakrawati dan Ratu Mas Adi Dyah
Banawati.
Ayahnya adalah raja kedua Mataram,
sedangkan ibunya adalah putri Pangeran Benawa
raja Pajang.
Versi
lain mengatakan, Sultan Agung adalah putra Pangeran Purbaya
(kakak Prabu Hanyakrawati). Konon waktu itu, Pangeran Purbaya menukar bayi yang
dilahirkan istrinya dengan bayi yang dilahirkan Dyah Banawati. Versi ini adalah
pendapat minoritas sebagian masyarakat Jawa yang kebenarannya perlu untuk
dibuktikan. Sebagaimana umumnya raja-raja Mataram, Sultan Agung memiliki dua
orang permaisuri utama. Yang menjadi Ratu Kulon adalah putri sultan Cirebon,
melahirkan Raden Mas Syahwawrat atau "Pangeran Alit". Sedangkan yang
menjadi Ratu Wetan adalah putri Adipati
Batang
(cucu Ki Juru Martani) yang melahirkan Raden Mas Sayidin
(kelak menjadi Amangkurat I).
Pada awal pemerintahannya, Raden Mas
Rangsang bergelar "Panembahan Hanyakrakusuma" atau "Prabu
Pandita Hanyakrakusuma". Kemudian setelah menaklukkan Madura
tahun 1624,
ia mengganti gelarnya menjadi "Susuhunan Agung Hanyakrakusuma",
atau disingkat "Sunan Agung Hanyakrakusuma". Setelah 1640-an
ia menggunakan gelar "Sultan Agung Senapati-ing-Ngalaga Abdurrahman".
Pada tahun 1641
Sunan Agung mendapatkan gelar bernuansa Arab.
Gelar tersebut adalah "Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram",
yang diperolehnya dari pemimpin Ka'bah
di Makkah,
Raden Mas Rangsang naik takhta pada
tahun 1613
dalam usia 20 tahun menggantikan adiknya(beda ibu), Adipati Martapura,
yang hanya menjadi Sultan Mataram selama satu hari. Sebenarnya secara teknis
Raden Mas Rangsang adalah Sultan ke-empat Kesultanan Mataram, namun secara umum
dianggap sebagai Sultan ke-tiga karena adiknya yang menderita tuna grahita
diangkat hanya sebagai pemenuhan janji ayahnya, Panembahan Hanyakrawati kepada
istrinya, Ratu Tulungayu. Setelah pengangkatannya menjadi
sultan, dua tahun kemudian, patih senior Ki Juru Martani
wafat karena usia tua, dan kedudukannya digantikan oleh Tumenggung Singaranu. Ibu kota Mataram
saat itu masih berada di Kota Gede.
Pada tahun 1614
mulai dibangun istana baru di desa Karta, sekitar 5 km di sebelah barat
daya Kota Gede, yang kelak mulai ditempati pada tahun 1618. Saingan besar Mataram saat itu tetap Surabaya
dan Banten.
Pada tahun 1614 Sultan Agung mengirim pasukan menaklukkan sekutu Surabaya,
yaitu Lumajang.
Dalam perang di Sungai Andaka, Tumenggung Surantani dari Mataram tewas oleh Panji Pulangjiwa
menantu Rangga Tohjiwa bupati Malang. Lalu Panji Pulangjiwa sendiri mati
terjebak perangkap yang dipasang Tumenggung Alap-Alap. Pada tahun 1615 Sultan Agung memimpin langsung
penaklukan Wirasaba ibukota Majapahit (sekarang Mojoagung, Jombang). Pihak Surabaya mencoba membalas.
Adipati Pajang
juga berniat mengkhianati Mataram namun masih ragu-ragu untuk mengirim pasukan
membantu Surabaya. Akibatnya, pasukan Surabaya dapat dihancurkan pihak Mataram
pada Januari
1616
di desa Siwalan.
Kemenangan Sultan Agung berlanjut di Lasem
dan Pasuruan
tahun 1616. Kemudian pada tahun 1617 Pajang memberontak tapi dapat
ditumpas. Adipati dan panglimanya (bernama Ki Tambakbaya) melarikan diri ke
Surabaya.
Pada tahun 1620 pasukan Mataram mulai mengepung kota Surabaya
secara periodik. Sungai Mas
dibendung untuk menghentikan suplai air, namun kota ini tetap mampu bertahan. Sultan
Agung kemudian mengirim Tumenggung Bahureksa (bupati Kendal) untuk menaklukkan Sukadana (Kalimantan
sebelah barat daya) tahun 1622.
Dikirim pula Ki Juru Kiting (putra Ki Juru Martani)
untuk menaklukkan Madura
tahun 1624.
Pulau Madura yang semula terdiri atas banyak kadipaten kemudian disatukan di
bawah pimpinan Pangeran Prasena yang bergelar Cakraningrat I.
Dengan direbutnya Sukadana dan Madura, posisi Surabaya menjadi lemah, karena
suplai pangan terputus sama sekali. Kota ini akhirnya jatuh karena kelaparan
pada tahun 1625,
bukan karena pertempuran. Pemimpinnya yang bernama Pangeran Jayalengkara pun menyerah pada pihak Mataram yang
dipimpin Tumenggung
Mangun-oneng.
Beberapa waktu kemudian, Jayalengkara meninggal karena usia tua. Sementara
putranya yang bernama Pangeran Pekik
diasingkan ke Ampel.
Surabaya pun resmi menjadi bawahan Mataram, dengan dipimpin oleh Tumenggung Sepanjang sebagai bupati. Setelah penaklukan Surabaya,
keadaan Mataram
belum juga tentram. Rakyat menderita akibat perang yang berkepanjangan. Sejak
tahun 1625-1627 terjadi wabah penyakit melanda di
berbagai daerah, yang menewaskan dua per tiga jumlah penduduknya. Pada tahun 1627 terjadi pula pemberontakan Pati yang dipimpin oleh Adipati Pragola,
sepupu Sultan Agung sendiri. Pemberontakan ini akhirnya dapat ditumpas namun
dengan biaya yang sangat mahal.
Pada tahun 1614 VOC (yang saat itu masih bermarkas di Ambon) mengirim duta untuk mengajak Sultan
Agung bekerja sama namun ditolak mentah-mentah. Pada tahun 1618 Mataram dilanda gagal panen akibat perang yang berlarut-larut melawan Surabaya.
Meskipun demikian, Sultan Agung tetap menolak bekerja sama dengan VOC. Pada
tahun 1619
VOC berhasil merebut Jayakarta
di bagian Barat pulau Jawa yang belum ditaklukkan Mataram, dan mengganti
namanya menjadi Batavia.
Markas mereka pun dipindah ke kota itu. Menyadari kekuatan bangsa Belanda
tersebut, Sultan Agung mulai berpikir untuk memanfaatkan VOC dalam persaingan
menghadapi Surabaya
dan Banten.
Maka pada tahun 1621
Mataram mulai menjalin hubungan dengan VOC. Kedua pihak saling mengirim duta besar.
Akan tetapi, VOC ternyata menolak membantu saat Mataram menyerang Surabaya.
Akibatnya, hubungan diplomatik kedua pihak pun putus.
Sasaran Mataram
berikutnya setelah Surabaya
jatuh adalah Banten
yang ada di ujung Barat pulau Jawa. Akan tetapi posisi Batavia
yang menjadi penghalang perlu diatasi terlebih dahulu oleh Mataram. Bulan April 1628 Kyai Rangga bupati Tegal dikirim sebagai duta ke Batavia untuk
menyampaikan tawaran damai dengan syarat-syarat tertentu dari Mataram. Tawaran
tersebut ditolak pihak VOC
sehingga Sultan Agung memutuskan untuk menyatakan perang. Maka, pada 27 Agustus
1628
pasukan Mataram dipimpin Tumenggung Bahureksa, bupati Kendal tiba di Batavia. Pasukan kedua tiba
bulan Oktober
dipimpin Pangeran Mandurareja (cucu Ki Juru Martani).
Total semuanya adalah 10.000 prajurit. Perang besar terjadi di benteng
Holandia. Pasukan Mataram mengalami kehancuran karena kurang perbekalan.
Menanggapi kekalahan ini Sultan Agung bertindak tegas, pada bulan Desember
1628
ia mengirim algojo
untuk menghukum mati Tumenggung Bahureksa dan Pangeran Mandurareja. Pihak VOC
menemukan 744 mayat orang Jawa
berserakan dan sebagian tanpa kepala. Sultan Agung kembali menyerang Batavia
untuk kedua kalinya pada tahun berikutnya. Pasukan pertama dipimpin Adipati
Ukur berangkat pada bulan Mei
1629,
sedangkan pasukan kedua dipimpin Adipati Juminah berangkat bulan Juni. Total semua 14.000 orang prajurit.
Kegagalan serangan pertama diantisipasi dengan cara mendirikan lumbung-lumbung
beras di Karawang
dan Cirebon.
Namun pihak VOC berhasil memusnahkan semuanya. Walaupun kembali mengalami
kekalahan, serangan kedua Sultan Agung berhasil membendung dan mengotori Sungai Ciliwung,
yang mengakibatkan timbulnya wabah penyakit kolera melanda Batavia. Gubernur jenderal
VOC
yaitu J.P. Coen
meninggal menjadi korban wabah tersebut.
Sultan Agung pantang menyerah dalam
perseteruannya dengan VOC
Belanda.
Ia mencoba menjalin hubungan dengan pasukan Kerajaan Portugis
untuk bersama-sama menghancurkan VOC. Namun hubungan kemudian diputus tahun 1635 karena ia menyadari posisi Portugis
saat itu sudah lemah. Kekalahan di Batavia
menyebabkan daerah-daerah bawahan Mataram berani memberontak untuk merdeka.
Diawali dengan pemberontakan para ulama Tembayat yang berhasil ditumpas pada tahun 1630. Kemudian Sumedang
dan Ukur memberontak tahun 1631. Sultan Cirebon
yang masih setia berhasil memadamkan pemberontakan Sumedang tahun 1632.
Pemberontakan-pemberontakan
masih berlanjut dengan munculnya pemberontakan Giri Kedaton
yang tidak mau tunduk kepada Mataram. Karena pasukan Mataram merasa segan menyerbu
pasukan Giri Kedaton yang masih mereka anggap keturunan Sunan Giri,
maka yang ditugasi melakukan penumpasan adalah Pangeran Pekik
pemimpin Ampel.
Pangeran Pekik sendiri telah dinikahkan dengan Ratu Pandansari adik Sultan Agung pada tahun 1633. Pemberontakan Giri Kedaton ini
berhasil dipadamkan pasangan suami istri tersebut pada tahun 1636.
Pada tahun 1636 Sultan Agung mengirim Pangeran Selarong (saudara seayah Sultan Agung, putra Panembahan Hanyakrawati dan selir Lung Ayu dari Panaraga)
untuk menaklukkan Blambangan
di ujung timur Pulau Jawa.
Meskipun mendapat bantuan dari Bali, negeri Blambangan tetap dapat
dikalahkan pada tahun 1640.
Dalam masa Sultan Agung, seluruh Pulau Jawa sempat tunduk dalam kekuasaan Kesultanan Mataram, kecuali Batavia
yang masih diduduki militer VOC
Belanda.
Sedangkan desa Banten
telah berasimilasi melalui peleburan kebudayaan. Wilayah luar Jawa yang
berhasil ditundukkan adalah Palembang
di Sumatra
tahun 1636
dan Sukadana
di Kalimantan
tahun 1622.
Sultan Agung juga menjalin hubungan diplomatik dengan Makassar,
negeri terkuat di Sulawesi
saat itu. Sultan Agung berhasil menjadikan Mataram sebagai kerajaan besar yang
tidak hanya dibangun di atas pertumpahan darah dan kekerasan, namun melalui kebudayaan
rakyat yang adiluhung dan mengenalkan sistem-sistem pertanian.
Negeri-negeri pelabuhan
dan perdagangan
seperti Surabaya
dan Tuban
dimatikan, sehingga kehidupan rakyat hanya bergantung pada sektor pertanian. Sultan
Agung menaruh perhatian besar pada kebudayaan Mataram. Ia memadukan Kalender Hijriyah
yang dipakai di pesisir utara dengan Kalender Saka
yang masih dipakai di pedalaman. Hasilnya adalah terciptanya Kalender Jawa Islam sebagai upaya pemersatuan rakyat
Mataram. Selain itu Sultan Agung juga dikenal sebagai penulis naskah berbau
mistik, berjudul Sastra Gending. Di lingkungan keraton Mataram, Sultan
Agung menetapkan pemakaian bahasa bagongan
yang harus dipakai oleh para bangsawan dan pejabat untuk menghilangkan
kesenjangan satu sama lain. Bahasa ini digunakan supaya tercipta rasa persatuan
di antara penghuni istana. Sementara itu Bahasa Sunda
juga mengalami perubahan sejak Mataram menguasai Jawa Barat.
Hal ini ditandai dengan terciptanya bahasa halus dan bahasa sangat halus yang
sebelumnya hanya dikenal di Jawa Tengah.
Pintu masuk ke makam Sultan Agung di Pemakaman Imogiri
di Imogiri, Kabupaten Bantul,
Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta,
Indonesia
(foto tahun 1890).
Menjelang tahun 1645
Sultan Agung merasa ajalnya sudah dekat. Ia pun membangun Astana Imogiri
sebagai pusat pemakaman keluarga raja-raja Kesultanan Mataram mulai dari dirinya. Ia juga menuliskan
serat Sastra Gending sebagai tuntunan hidup trah Mataram. Sesuai dengan wasiatnya,
Sultan Agung yang meninggal dunia tahun 1645 digantikan oleh putranya yang bernama
Raden Mas Sayidin sebagai raja Mataram selanjutnya, bergelar Amangkurat I.
No comments:
Post a Comment