Tugas Lembaga Tinggi Negara

TUGAS MPR ( MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT)
*       Mengubah dan menetapkan (Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945), (Undang-Undang Dasar)
*       Melantik Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan hasil pemilihan umum.
*       Memutuskan usul DPR berdasarkan putusan (Mahkamah Konstitusi) untuk memberhentikan Presiden/Wakil Presiden dalam masa jabatannya.
*       Melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatannya.
*       Memilih Wakil Presiden dari 2 calon yang diajukan Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya.
*       Memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan dalam masa jabatannya.
*       Anggota MPR memiliki hak mengajukan usul perubahan pasal-pasal UUD, menentukan sikap dan pilihan dalam pengambilan putusan, hak imunitas, dan hak protokoler.
*       Setelah Sidang MPR 2003, Presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat tidak lagi oleh MPR.
TUGAS PRESIDEN
*      Memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD
*      Memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara
*      Mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Presiden melakukan pembahasan dan pemberian persetujuan atas RUU bersama DPR serta mengesahkan RUU menjadi UU.
*      Menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (dalam kegentingan yang memaksa)
*      Menetapkan Peraturan Pemerintah
*      Mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri
*      Menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain dengan persetujuan DPR
*      Membuat perjanjian internasional lainnya dengan persetujuan DPR
*      Menyatakan keadaan bahaya.
*      Mengangkat duta dan konsul. Dalam mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan DPR
*      Menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan DPR.
*      Memberi grasi, rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung
*      Memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR
*      Memberi gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan lainnya yang diatur dengan UU
*      Meresmikan anggota Badan Pemeriksa Keuangan yang dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah
*      Menetapkan hakim agung dari calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial dan disetujui DPR
*      Menetapkan hakim konstitusi dari calon yang diusulkan Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung
*      Mengangkat dan memberhentikan anggota Komisi Yudisial dengan persetujuan DPR.
TUGAS DPR ( DEWAN PERWAKILAN RAKYAT )
*       Membentuk Undang-Undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama
*       Membahas dan memberikan persetujuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
*       Menerima dan membahas usulan RUU yang diajukan DPD yang berkaitan dengan bidang tertentu dan mengikutsertakannya dalam pembahasan
*       Menetapkan APBN bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD
*       Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan UU, APBN, serta kebijakan pemerintah
*       Memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan dengan memperhatikan pertimbangan DPD
*       Membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pertanggungjawaban keuangan negara yang disampaikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan;
*       Memberikan persetujuan kepada Presiden atas pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial
*       Memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial untuk ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden
*       Memilih tiga orang calon anggota hakim konstitusi dan mengajukannya kepada Presiden untuk ditetapkan;
*       Memberikan pertimbangan kepada Presiden untuk mengangkat duta, menerima penempatan duta negara lain, dan memberikan pertimbangan dalam pemberian amnesti dan abolisi
*       Memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain
*       Menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat
*       Memperhatikan pertimbangan DPD atas rancangan undang-undang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;
*       Membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang diajukan oleh DPD terhadap pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama.
TUGAS BPK ( BADAN PEMERIKSA KEUANGAN )
Tugas BPK-RI adalah melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara. Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara yang dilakukan oleh BPK-RI meliputi seluruh unsur keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
TUGAS MAHKAMAH KONSTITUSI ( MK)

adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung. Kewajiban dan wewenang.

Menurut Undang-Undang Dasar 1945, kewajiban dan wewenang MK adalah:
*       Berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum
*       Wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945.
TUGAS MAHKAMAH AGUNG
adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Agung membawahi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara
Kewajiban dan wewenang                            
Menurut Undang-Undang Dasar 1945, kewajiban dan wewenang MA adalah:
*       Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang
*       Mengajukan 3 orang anggota Hakim Konstitusi
*       Memberikan pertimbangan dalam hal Presiden member grasi dan rehabilitasi
TUGAS KOMISI YUDISIAL
Komisi Yudisial  (KY)
adalah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UU no 22 tahun 2004 yang berfungsi mengawasi perilaku hakim dan mengusulkan nama calon hakim agung.
Wewenang Komisi Yudisial
Komisi Yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Tugas Komisi Yudisial
  • Mengusulkan Pengangkatan Hakim Agung, dengan tugas utama:
1.     Melakukan pendaftaran calon Hakim Agung;
2.    Melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung;
3.    Menetapkan calon Hakim Agung; dan
4.    Mengajukan calon Hakim Agung ke DPR.
  • Menjaga dan Menegakkan Kehormatan, Keluhuran Martabat Serta Perilaku Hakim, denga tugas utama:
1.     Menerima laporan pengaduan masyarakat tentang perilaku hakim,
2.    Melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim, dan
3.    Membuat laporan hasil pemeriksaan berupa rekomendasi yang disampaikan kepada Mahkamah Agung dan tindasannya disampaikan kepada Presiden dan DPR.
Tugas DPA
Dalam Pasal 16 ayat (1) dan (2) UUD 1945 dinyatakan: “(1) Susunan DPA ditetapkan dengan UU”; dan “(2) Dewan ini berkewajiban memberi jawab atas pertanyaan Presiden, dan berhak mengajukan usul kepada Pemerintah”; Selanjutnya, dalam Penjelasan UUD 1945 dinyatakan: “Dewan ini ialah sebuah ‘Council of State’ yang berkewajiban memberi pertimbangan-pertimbangan kepada Pemerintah. Ia sebuah Badan Penasehat belaka”. Dari ketentuan tersebut dapat diketahui: Pertama, DPA itu adalah Badan Penasehat Presiden/Pemerintah. Meskipun dalam rumusan ayat 2 Pasal 16 UUD 1945 dibedakan antara kewajiban menjawab kepada Presiden dan hak memberikan usul kepada Pemerintah. Tetapi dalam penjelasan dinyatakan bahwa DPA adalah Badan Penasehat Pemerintah. Artinya, pembedaan istilah Presiden dan Pemerintah dalam ayat 2 tersebut tidaklah bersifat prinsipil, karena Presiden adalah Kepala Pemerintahan, sehingga otomatis nasehat dan pertimbangan yang diberikan oleh DPA kepada Pemerintah harus ditujukan kepada Presiden sebagai Kepala Pemerintahan. Sudah tentu untuk melaksanakan haknya itu, DPA dapat saja mengundang Menteri atau para Menteri ataupun para pejabat tinggi lainnya untuk menghadiri rapat-rapat DPA bilamana keterangan Menteri atau pejabat tinggi yang bersangkutan memang diperlukan oleh DPA. Tetapi dalam komunikasi resmi, sudah seharusnya DPA hanya menyampaikan saran dan usul pertimbangan kepada Presiden, bukan langsung kepada Menteri yang bersangkutan.
Kedua, ayat 2 Pasal 16 itu juga membedakan antara kewajiban dan hak DPA dengan kriteria ada tidaknya pertanyaan atau permintaan pertimbangan dari Presiden. Jika Presiden mengajukan pertanyaan, maka pertanyaan itu wajib dijawab oleh DPA. Jika Presiden tidak bertanya, maka DPA berhak mengajukan usul-usul atau pertimbangan kepada Presiden/Pemerintah. Dengan rumusan demikian berarti, kewajiban DPA itu tergantung kepada ada tidaknya pertanyaan Presiden. Jika Presiden tidak pernah mengajukan pertanyaan, maka DPA tidak mungkin dipersalahkan karena tidak pernah melaksanakan kewajiban. Karena di luar pertanyaan dari Presiden, DPA tidak mempunyai kewajiban, melainkan hanya hak yang dapat digunakan ataupun tidak digunakan. Atas dasar ketentuan Pasal 16 ayat (2) itulah maka dalam Pasal 2 UU No.3/1967[1], tugas DPA hanya ditentukan (a) memberi jawab atas pertanyaan Presiden, dan (b) mengajukan usul kepada Pemerintah. Sudah tentu, dalam prakteknya, hal ini dapat dilihat sebagai kelemahan pengaturan mengenai tugas dan kewajiban lembaga DPA ini. Karena itulah, tanpa didahului oleh perubahan UUD, Sidang Umum MPR Tahun 1978 menentukan dalam Pasal 9 Ketetapan MPR No. III/MPR/1978, yaitu: “(1) DPA adalah sebuah Badan Penasehat Pemerintah; (2) DPA berkewajiban memberi jawaban atas pertanyaan Presiden; (3) DPA berhak mengajukan usul dan wajib mengajukan pertimbangan kepada Presiden.” Rumusan pada ayat (3), yaitu ‘wajib mengajukan pertimbangan kepada Presiden’ jelas merupakan elemen baru yang tidak ditentukan sebelumnya dalam Pasal 16 UUD 1945. Hal ini ditegaskan lagi dalam Pasal 2 UU No.4/1978[2] yang menentukan bahwa tugas DPA adalah: “(a) berkewajiban memberi jawab atas pertanyaan Presiden; dan (b) berhak mengajukan usul dan berkewajiban mengajukan pertimbangan kepada Presiden”.
            Namun perumusan-perumusan di atas tetap mengandung kelemahan. Hal ini sudah terbukti bahwa selama ini peran DPA tidaklah meningkat seperti yang diharapkan. Jika kita mengharapkan adanya peningkatan, perumusan mengenai kedudukan, fungsi dan tugas DPA harus disempurnakan. Dalam semua rumusan di atas, kedudukan dan fungsi DPA selalu dikaitkan dengan pembedaan antara kewajiban untuk menjawab pertanyaan dan hak untuk mengajukan saran, meskipun tidak ditanya atau diminta. Padahal dalam hukum setiap hak selalu diimbangi oleh kewajiban, dalam hubungan hukum antara para pihak, maka hak dan kewajiban salah satu pihak mengandung konsekwensi atau berhubungan erat dengan hak dan kewajiban pihak lain. Jika dikatakan DPA wajib menjawab pertanyaan Presiden, berarti Presiden berhak mendapatkan jawaban dari DPA atas pertanyaannya. Karena DPA diberi kewajiban, tentu kepadanya juga diberi hak yang ia perlukan untuk melaksanakan kewajibannya itu. Dalam hubungannya dengan Presiden, hak DPA itu bisa menimbulkan kewajiban pada diri Presiden terhadap DPA. Sebaliknya, jika dikatakan bahwa DPA berhak mengajukan usul kepada Presiden, berarti Presiden juga memiliki kewajiban untuk mendengarkan atau menerima usulan tersebut. Memang dapat dipersoalkan bahwa kewajiban Presiden itu bisa saja hanya bersifat prosedural, yaitu bahwa Presiden tidak boleh menolak untuk mendengarkan atau menerima usulan tersebut. Sedangkan isinya tidak mutlak harus diikuti oleh Presiden. Dalam hal demikian, nasehat atau usul dan pertimbangan DPA itu bersifat sukarela dan tidak mengikat. Namun, jika kita menghendaki agar nasehat dan pertimbangan DPA itu efektif, maka dapat ditentukan bahwa meskipun hakikat usul dan pertimbangan itu tidak mutlak mengikat, tetapi dilaksanakan atau tidaknya isi pertimbangan DPA itu haruslah dilaporkan oleh Presiden kepada lembaga yang lebih tinggi, yaitu MPR. Dapat pula ditentukan bahwa apabila Presiden tidak dapat melaksanakan usul-usul DPA itu, maka Presiden diwajibkan untuk menyampaikan alasan-alasannya secara resmi kepada DPA mengapa usul atau pertimbangan DPA itu tidak dapat dilaksanakan oleh Presiden.
            Dengan demikian, setiap nasehat, usul dan pertimbangan yang diberikan oleh DPA sebagai lembaga tinggi negara, baik atas permintaan atau pertanyaan Presiden ataupun bukan atas pertanyaan Presiden, sudah seharusnya dipahami mengandung akibat hukum tertentu yang apabila tidak dilaksanakan dapat menimbulkan kewajiban pada Presiden untuk memberitahukannya secara resmi kepada DPA, dan bahkan untuk melaporkannya kepada MPR. Oleh karena itu, dalam rangka perubahan UUD 1945, dapat disarankan bahwa selain unsur tambahan seperti diuraikan di atas dikukuhkan dalam perumusan UUD, sehingga kewajiban konstitusional DPA tidak lagi hanya digantungkan pada ada tidaknya pertanyaan atau permintaan pertimbangan dari Presiden, tetapi juga dilengkapi dengan rumusan ketentuan yang mewajibkan Presiden untuk sungguh-sungguh menanggapi usul dan pertimbangan DPA itu sebagaimana mestinya. Jika hanya mengukuhkan saja ketentuan tambahan tersebut tanpa perincian yang lebih tegas, peran aktual DPA belum tentu akan meningkat, karena tokh selama ini dengan adanya TAP MPR No.III/MPR/1978 dan UU No.4/1978 sajapun kedudukan DPA masih dianggap kurang kuat. Di samping itu, kepada Presiden sebaiknya ditambahkan pula kewajiban yang mengikat bahwa sebelum menetapkan suatu kebijakan tertentu, diharuskan memintakan pertimbangan DPA terlebih dulu. Dengan demikian, akan ada tiga jenis kewajiban memberikan nasehat dan pertimbangan DPA yang dapat dirumuskan dalam UUD, yaitu kewajiban karena adanya pertanyaan sukarela dari Presiden, kewajiban karena adanya permintaan pertimbangan yang bersifat wajib dimintakan oleh Presiden, dan kewajiban karena ditentukan oleh konstitusi berkenaan dengan keadaan-keadaan tertentu yang mengharuskan DPA memberikan nasehat dan pertimbangan kepada Presiden.
            Ketentuan mengenai kewajiban memberikan kewajiban-kewajiban seperti itu sama sekali belum dikaji kemungkinannya untuk dimasukkan ke dalam agenda Perubahan UUD 1945 yang akan datang. Sebagaimana dapat dilihat dalam lampiran Ketetapan MPR No.IX/MPR/2000, materi rancangan perubahan terhadap Pasal 16 UUD 1945  telah dirumuskan dalam 3 pasal, yaitu 16, 16A, dan 16B[3]. Pasal 16 menentukan mengenai komposisi keanggotaan DPA, Pasal 16A mengatur mengenai kewajiban dan hak DPA, dan Pasal 16B menentukan mengenai susunan dan kedudukan DPA ditetapkan dengan UU. Tetapi, rumusan rancangan Pasal 16A mengenai kewajiban dan hak DPA itu masih saja berisi ketentuan seperti yang ada selama ini, yaitu bahwa “Dewan ini berkewajiban memberikan jawaban atas pertanyaan  Presiden dan berhak memajukan usul kepada Presiden dalam mengatasi masalah-masalah kenegaraan”. Yang baru dalam rumusan ini hanya perkataan ‘dalam mengatasi masalah-masalah kenegaraan’, sedangkan esensi kewajiban dan hak DPA itu masih tetap sama seperti sebelumnya. Oleh karena itu, dalam rangka perubahan UUD dan pembaruan UU tentang DPA, dapat dipertimbangkan bahwa kepada DPA ditentukan adanya kewajiban yang tidak hanya dikaitkan dengan adanya pertanyaan, tetapi ada pula hal-hal yang Presiden sendiri diwajibkan untuk meminta pertimbangan DPA sebelum memutuskan sesuatu kebijakan.
Secara khusus, misalnya, dapat ditentukan bahwa: Pertama, pelaksanaan hak-hak prerogratif Presiden yang biasa dikaitkan dengan kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara, yaitu pemberian amnesti dan abolisi, pengangkatan Duta Besar dan Konsul ataupun penerimaan kridensial Duta Besar dan Konsul negara sahabat. Mengenai amnesti dan abolisi harus diakui merupakan hak Kepala Negara yang berkaitan dengan fungsi kekuasaan kehakiman[4]. Karena itu, lazimnya diterima pendapat bahwa sebelum mengambil kebijakan berkenaan dengan hal itu, Presiden terlebih dulu harus memintakan pertimbangan Mahkamah Agung sebagai puncak kekuasaan kehakiman yang sebelumnya telah menjatuhkan vonis kepada yang bersangkutan. Akan tetapi, pemberian amnesti dan abolisi oleh Presiden kepada seorang mantan Presiden, sifatnya sangat khusus. Karena itu, pemberian amnesti dan abolisi kepada seorang mantan Presiden sebaiknya, juga dimintakan dulu ‘persetujuan’ DPA sebagai lembaga yang beranggotakan tokoh-tokoh yang sangat berpengalaman dalam berbagai bidang pemerintahan sebelumnya. Pertimbangan DPA dalam hal ini bersifat mengikat sebagai nasehat wajib, yaitu berisi persetujuan atau penolakan, sehingga kedudukannya kuat, dan bukan sekedar pertimbangan yang bersifat sukarela. Kedua, mengenai pengangkatan Duta Besar dan Konsul ataupun penerimaan Duta Besar dan Konsul negara asing seperti tersebut di atas. Dalam Perubahan Pertama UUD 1945, ketentuan mengenai hak prerogatif Presiden di bidang ini telah dibatasi dengan terlebih dulu diharuskan memintakan persetujuan DPR[5]. Ketentuan demikian ini dapat menimbulkan kesulitan karena kedudukan Duta Besar dan Konsul itu di zaman sekarang tidak lagi bersifat murni politis. Apalagi jika dikaitkan dengan gelombang tuntutan persaingan ekonomi dan perdagangan antar bangsa, peranan Duta Besar dan Konsul itu makin berkembang ke arah fungsi-fungsi yang bersifat teknis dalam rangka memajukan perekonomian suatu bangsa. Lagi pula, keperluan untuk memintakan dulu persetujuan dari DPR ini dapat menimbulkan kesulitan administratif untuk pengangkatan Duta Besar dan Konsul yang bisa timbul setiap waktu tanpa harus menunggu proses politik di tingkat DPR. Di samping itu, yang lebih prinsipil lagi ialah bahwa pengangkatan dan penerimaan Duta Besar dan Konsul diikat oleh Hukum Internasional yang di dalamnya antara lain tercakup prinsip-prinsip hubungan resiprokal dimana ditentukan setiap kebikan antar negara haruslah bertimbal balik. Jika penerimaan Dubes asing harus terlebih dulu disetujui oleh DPR, apakah prinsip yang sama juga diterapkan di negara mitra. Apakah keharusan persetujuan DPR itu tidak justru menimbulkan reaksi negatif dari pihak negara mitra. Oleh karena itu, sebaiknya, prinsip persetujuan itu diubah menjadi pertimbangan dan dialihkan dari DPR ke DPA saja. Jadi sebelum Presiden menetapkan menerima seorang Duta Besar atau Konsul asing, dan sebelum menetapkan mengangkat seseorang sebagai Duta Besar atau Konsul, maka Presiden diwajibkan memintakan dulu pertimbangan DPA.
            Dengan demikian, DPA akan memiliki hak dan kewajiban konstitusional yang jelas, tidak sekedar dianggap sebagai ‘Badan Penasehat belaka’ seperti disebutkan dalam Penjelasan Pasal 16 UUD 1945. Nampaknya, dirumuskannya kata ‘belaka’ itu dalam penjelasan Pasal 16 UUD untuk menunjukkan bahwa tugas DPA itu ‘hanya sekedar’ memberi nasehat. Karena kata ‘belaka’ itu berarti ‘hanya’ yang juga sepadan dengan kata ‘sekedar’. Dengan menekankan perkataan ‘belaka’ itu, berarti nasehat DPA itu bersifat sukarela dan tidak mengikat. Presiden boleh mengikutinya dan boleh juga mengabaikannya sama sekali tanpa akibat hukum apa-apa. Jika nantinya, kewajiban-kewajiban DPA sudah dipertegas secara rinci, maka ia tidak lagi dapat disebut sebagai ‘penasehat belaka’. Sesuai usul-usul tersebut di atas, hak dan kewajiban DPA di masa depan dapat diimbangi pula dengan hak dan kewajiban Presiden dalam hubungannya dengan DPA, yang dapat dirinci sebagai berikut:
1.     DPA berkewajiban memberikan jawaban atas pertanyaan atau permintaan pertimbangan Presiden.
2.    DPA berkewajiban memberikan pertimbangan kepada Presiden mengenai pengangkatan seseorang menjadi Duta Besar dan Konsul ataupun penerimaan Duta Besar dan Konsul Negara asing, dan Presiden berkewajiban memintakan pertimbangan DPA sebelum menetapkan pengangkatan atau penerimaan Duta Besar dan Konsul dimaksud.
3.    DPA berkewajiban memberikan pertimbangan terhadap rencana Presiden memberikan amnesti atau abolisi terhadap seorang mantan Presiden yang telah dijatuhi sanksi pidana oleh hakim dengan kekuatan hukum yang tetap, dan sebelum mengambil keputusan mengenai hal itu, Presiden berkewajiban memintakan terlebih dulu pertimbangan dari DPA.
4.    DPA berkewajiban memberikan saran dan pertimbangan kepada Presiden mengenai segala tindakan dan kebijakan Presiden yang oleh DPA dinilai dapat mengganggu keserasian hubungan antar lembaga-lembaga tinggi negara atau dinilai dapat membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa, dan Presiden berkewajiban untuk sungguh-sungguh memperhatikan saran dan pertimbangan DPA.
5. DPA berkewajiban menyampaikan secara terbuka setiap nasehat atau usul dan pertimbangan yang telah disampaikannya secara resmi kepada Presiden, berikut tanggapan Presiden mengenai isi nasehat, usul atau pertimbangan DPA tersebut, kecuali mengenai hal-hal yang atas kesepakatan bersama dengan Presiden wajib dirahasiakan.
6.    DPA berhak mengajukan usul dan saran pertimbangan kepada Presiden mengenai kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Pemerintah dalam bidang-bidang pemerintahan dan pembangunan.
7.    Dalam pelaksanaan tugas dan kewajibannya, DPA berhak mengundang Menteri atau pejabat setingkat Menteri atau meminta keterangan kepada Menteri atau pejabat setingkat Menteri mengenai segala sesuatu menyangkut kebijakan pemerintah dalam bidangnya.

No comments:

Post a Comment